Kereta Keempat Bag.1 - Sebuah Cerita



Pagi yang sibuk. Semuanya terlihat seperti sedang merutuk. Mungkin semalam tidurnya kurang, jadi masih ngantuk.

Tampak wajah yang tidak asing. Dia menunduk lemas dengan rambutnya yang tertutup topi. Aku menghampiri, untuk menyapanya. Berharap senyumnya segera mengembang. Itu yang aku rindukan.


"Hai, malammu sepertinya kelabu." Sapaku dengan nada sedikit menggoda.
"Astaga, kau sudah sampai rupanya." Jawabnya setengah terkaget melihatku.
"Aku sudah tiga puluh menit memandangimu." Kataku santai.
"Kenapa hanya memandangiku?" Tanyanya setengah curiga.


Aku hanya berlalu tanpa meneruskan percakapan kami. Kutarik jaketnya dan membawanya ke ujung stasiun ini. Terlihat satu bangku panjang yang kosong. Kududukkan dia di sana. Aku membawakannya sebungkus nasi dan seplastik air. Dia pun tersenyum. Tanpa berucap terima kasih, sebungkus nasi langsung dia lahap. Aku hanya menggeleng dan pergi meninggalkannya.

Dua hari sudah aku merantau ke Ibu kota. Tampak asing dan tentu terasa sangat megah. Kota yang kuimpikan. Tapi tak kupungkiri, kalau semuanya tampak penuh misteri. Mungkin butuh waktu lama aku harus mengenali. Memahami segala yang baik dan buruk, untuk hidupku selanjutnya di sini. Semoga aku tidak salah melangkah.


"Makasih ya sarapannya." Ucapannya membuyarkan pikiranku. Aku hanya menoleh dan memandangnya sebentar, hanya demi mendapat senyumnya. Iya, senyum yang selalu membuatku semangat.
"Sudah siap kau bekerja hari ini?" tanyanya lagi.
"Semoga aku siap." Jawabku singkat sembari membuka tas kerjaku.


Hari ini hari pertama aku bekerja. Tempat yang baru juga untukku. Stasiun Kereta. Aku baru pertama kali menginjakkan kaki di stasiun kereta saat kemarin akan berangkat ke Jakarta. Butuh perjalanan jauh dari rumahku untuk sampai di stasiun terdekat. Itulah kenapa aku tidak pernah tahu sepeti apa itu stasiun. Tapi mulai hari ini, aku akan bekerja menghabiskan waktu di sini, dari pagi sampai dini hari. Dan tentunya, stasiun ini jauh lebih besar dan ramai dari stasiun pertama yang aku datangi di dekat rumahku.


"Aku suka stasiun, ramai dan banyak yang bisa kulihat." Ceritanya kemudian, sembari duduk di sebelahku.


Dia Bara, temanku di sekolah menengah atas. Kami lulus bersama dan kemudian dia melanjutkan pendidikan di Ibu kota, sedangkan aku hanya ikut membantu Bapak berjualan baju di pasar. Kami selalu berhubungan meski hanya lewat pesan singkat sms, karena hape-ku hanya bisa itu. Sebulan yang lalu dia menawariku pekerjaan ini. Aku langsung tertarik, meski perdebatan sengit dengan Bapak terjadi. Tapi aku tetap nekat dan berharap ini yang terbaik.


"Dulu sebulan pertama bekerja di sini, aku selalu emmbawa kameraku kemana aku pergi. Banyak hal menarik yang bisa aku abadikan, dan itu selalu berbeda setiap waktunya." ceritanya panjang.
"Apa kau suka bekerja di sini?" tanyaku pelan.
"Suka. Aku selalu suka apapun yang sedang aku kerjakan." jawabnya optimis.
"Aku masih ragu, apakah aku akan bisa bertahan hidup di sini." keluhku kemudian.
"Akan aku buat kau tetap bertahan dan menyukai segala hal yang kau kerjakan di sini." katanya tegas dengan senyum khasnya. Senyum yang selalu aku sukai. Dari dulu pertama bertemu, saat duduk bersama di depan teras aula sekolah karena menanti bel masuk sekolah.
"Ayo, aku tunjukkan kau sesuatu yang menarik." ajaknya dengan semangat.


Kami keluar dari kantor stasiun. Menyusuri rel kereta api untuk menemukan kereta api yang sedang tidak digunakan. Dia mengajakku masuk ke dalam gerbong. Memang tidak sembarang orang bisa masuk, kecuali pegawai seperti dia yang sudah memiliki ijin, dan memang itu pekerjaannya. Dia membawaku menyusuri gerbong-gerbong itu. Berhenti di gerbong keempat, dia mengajakku duduk di samping jendela kereta. Menunjukkan satu pemandangan yang tidak biasa. Dari gerbong itu, tampak kampung di sebelah stasiun yang sangat padat. Rumah-rumah berjejer tidak beraturan. Dan ramainya anak-anak kecil yang tinggal di sana.


"Aku suka duduk lama di sini." katanya kemudian.
"Apa ada yang kau suka dari anak-anak itu? atau ibu dari anak-anak itu?" tanyaku serius.
"Hey, memangnya aku ini lelaki macam apa?" jawabnya dengan pertanyaan, dengan muka sedikit merajuk.


Tawa kami kemudian pecah. Lalu dengan singkat, kuputuskan kalau aku bahagia di sini. Di dekatnya. Bersamanya, Bara temanku.

========================================================================


catatanatiqoh, 29 Oktober 2019





#TantanganPekan8(Bag.1)
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP
#ODOPBatch7

14 komentar:

  1. ada satu typo tapi overall aku senang membaca alur ceritanya kak atiq :)

    BalasHapus
  2. Bagus sekali kakak, ceritanya inspirasi sekali
    #semangat

    BalasHapus

Terima kasih sudah membacanya sampai selesai, semoga bermanfaat :) Please jangan tinggalkan link hidup dalam kolom komentar!

comment

Diberdayakan oleh Blogger.