Kusta Masih Ada - Penderita, Stigma, dan Akses Kesehatan Mereka

 Pernahkah mendengar penyakit kusta? Penyakit ini rupanya sudah ada sejak jaman Nabi. Jenis penyakitnya masih saja sama dan merupakan penyakit menular, namun kini, penyakit ini sudah dapat disembuhkan total, lho.. asal,


Kusta identik dengan penyakit kutukan dari Tuhan. Pada asalnya, penyakit ini berasal dari Bakteri Mycobacterium Leprae. Bakteri ini dapat menular dari satu orang ke orang lainnya. Penularan terjadi melalui percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet), yaitu ludah atau dahak, yang keluar saat batuk atau bersin.


Kusta-masih-ada

Bakteri ini menyerang organ kulit yang menyebabkan penderitanya mengalami penyakit kulit dan saraf. Identik dengan luka putih atau kemerahan di kulit. Penyakit ini dapat segera disembuhkan jika cepat dan tepat ditangani. Namun ternyata, dapat juga mengakibatkan kecacatan jika terlambat atau bahkan tidak diobati dengan benar.


Fenomena Orang Penderita Kusta di Indonesia

Kusta ini bukan merupakan penyakit keturunan. Penyakit ini menular, namun ternyata, tergolong sulit menular. Hal ini karena hanya dapat terjadi proses penularan jika memiliki kontak erat, dekat dan dalam intensitas waktu yang lama, yang biasanya akan berisiko lebih besar tertular.


Jadi, kita tidak akan tertular kusta hanya karena bersalaman, duduk dan mengobrol bersama, atau bahkan hubungan seksual dengan penderita. Kusta juga tidak dapat ditularkan dari ibu ke janin di kandungannya.


Orang dengan Kusta

Sejujurnya, saya belum juga bertemu secara langsung para penderita Kusta. Tidak tahu persis seperti apa gejala dan apa yang dideritanya. Serta faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini. Karena ternyata, di Indonesia, masih saja ada penderita Kusta setiap tahunnya yang masih ditemukan. Berikut ini beberapa informasi lebih lanjut yang saya dapatkan dari berbagai sumber mengenai penyakit Kusta.


Orang yang menderita Kusta akan mengalami bercak putih di kulitnya yang semakin lama akan semakin melebar dan bertambah banyak jumlahnya. Muncul juga, bintil kemerahan yang tersebar di kulit, gejala kesemutan yang terus menerus pada anggota badan. Bisa juga muncul benjolan-benjolan pada raut muka. Serta lebih parah lagi adalah kondisi bagian tubuh dapat mati rasa karena kerusakan saraf tepi.


Bakteri ini memerlukan waktu 6 bulan hingga 40 tahun untuk berkembang di dalam tubuh. Tanda dan gejalanya ternyata juga dapat muncul setelah 1 sampai 20 tahun bakteri tersebut menginfeksi tubuh penderita. Bakteri ini akan tumbuh lebih cepat di bagian tubuh yang cenderung lebih dingin. Seperti pada area tangan, wajah, kaki, dan bagian lutut. 


Gejala yang tidak langsung muncul tersebut, yang menyebabkan banyak penderita Kusta yang akhirnya baru melakukan pengobatan jika gejalanya sudah memburuk. Keterlambatan ini yang dapat mengakibatkan cacat tubuh.


Tingkat kecacatan yang bisa diakibatkan penyakit kusta, antara lain tingkat 0 (disembuhkan tanpa kecacatan); tingkat 1 (misalnya: bercak putih yang terasa kebas atau mati rasa atau muka dengan benjolan-benjolan); dan tingkat 2 (kecacatan bersifat permanen).


Kusta di Indonesia

Berdasarkan data KemenKes RI, Indonesia sebenarnya sudah mencapai target eliminasi kusta di tingkat nasional, yaitu angka prevalensi < 1/ 10.000 penduduk paada tahun 2000. Angka prevalensi kusta di Indonesia saat ini adalah 0,78 per 10.000 penduduk. Prestasi tersebut tetap harus dilanjutkan dengan pencapaian eliminasi kusta di tingkat provinsi.


Pada tahun 2015, Banten sukses mencapai eliminasi kusta di wilayahnya. Sedangkan di tahun 2016 Jawa Timur dan Aceh juga sudah mancapai tahap eliminasi kusta. Terdapat beberapa provinsi di Indonesia yang belum mencapai status eliminasi yang ditandai dengan angka prevalensi kusta di wilayahnya masih > 1 per 10.000 penduduk.


Sebagian besar berada di wilayah Indonesia Timur yakni seluruh Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, serta Provinsi Kalimantan Utara dan satu provinsi di pulau Jawa yaitu Jawa Timur.


Tidak hanya pada orang dewasa, kasus Kusta ternyata juga banyak ditemui pada anak. Tingginya proporsi ditemukannya kasus Kusta pada anak < 15 tahun, menandakan potensi penularan berupa kontak erat (keluarga dan lingkungannya) dan tingginya transmisi di suatu wilayah.


Terkait dengan masih adanya angka penyakit Kusta tersebut, banyak pihak yang ternyata masih terus berupaya untuk mengeliminasi penyakit dan stigma yang tumbuh di masyarakat. Stigma negatif ini tumbuh kepada para penderita karena kondisi mereka yang tidak sempurna. Apalagi penyakit ini tergolong menular, sehingga banyak orang yang akhirnya menjauhi penderita.


Padahal, mereka membutuhkan banyak perhatian. Mulai dari akses kesehatan inklusif, edukasi mengenai penanganan kusta dan pencegahan bagi keluarganya, belum lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


Baik dari Pemerintah, dan juga para pihak aktivis Kusta, mereka terus berupaya untuk menghilangkan stigma negatif pada penderita Kusta dan Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).


Diskusi Ruang Publik KBR - Akses Kesehatan Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas & Kusta

Pada kesempatan 22 Juli 2021, permasalahan mengenai stigma negatif yang masih tinggi di masyarakat ini diangkat menjadi salah satu fokus dalam diskusi. Diskusi di Ruang Publik KBR.id berlangsung selama satu jam. Bersama dengan Bapak Suwata, dari Dinas Kesehatan Kab. Subang dan Ardiansyah, seorang aktivis Kusta/ Ketua PerMaTa Bulukumba.


Berdasarkan pemaparan Bapak Suwata, orang dengan Kusta ini masih termaginalkan di berbagai aspek. Aspek yang paling terlihat adalah pendidikan, pekerjaan, dan juga fasilitas umum. Dalam aspek pendidikan, sering sekali mereka mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan. Bahkan banyak kejadian angka putus sekolah karena hal demikian.


Akses-kesehatan-bagi-disabilitas-kusta

Belum lagi di dunia pekerjaan, banyak dari mereka yang akhirnya merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di instansi atau perusahaan terkemuka. Diskriminasilah yang memupuskan harapan para OYPMK ini. Banyak yang harus kehilangan pekerjaan mereka karena penyakit tersebut.


Optimalisasi Akses Kesehatan

Berdasarkan data dari Bappenas 2018, sekitar 21,8 juta atau 8,26 persen penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Di berbagai daerah, pasien kusta, penyandang disabilitas karena kusta maupun orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) dikelompokkan sebagai bagian dari ragam disabilitas. Mereka seringkali masih menghadapi kesulitan dan tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang layak.


Padahal, sama seperti warga negara lainnya, penyandang disabilitas juga dijamin pemenuhan haknya oleh undang-undang. Salah satunya di sektor kesehatan, dimana pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang disabilitas untuk dapat hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.


Oleh karena itu, program layanan kesehatan inklusif perlu diupayakan, agar mereka mendapatkan dalam kondisi kesehatan yang optimal. Sehingga akan mampu menunjang produktivitas. Serta keterlibatan mereka dalam bermasyarakat lebih nyaman.


Dalam diskusi ini, Bapak Suwata dan Ardiansyah, membagikan pengetahuannya mengenai penanganan kusta di Indonesia. Mereka terus berupaya dalam "memerdekakan' para disabilitas terutama akibat Kusta.


Beruntungnya, kini Pemerintah mulai memperhatikan hak pendidikan, pekerjaan dan fasilitas umum untuk orang dengan kusta. Dibuktikan dengan adanya peraturan Pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang hak penyandang disabilitas, termasuk orang dengan kusta di dalamnya.


Berdasarkan informasi dari Ardiansyah, Ketua PerMaTa di Bulukumba, banyak terjadi penemuan kasus yang terlambat di Bulukumba. Sehinga mengakibatkan angka kasus terus ada. Mereka belum dapat mengakses layanan ke Rumah Sakit. Hanya mendapatkan pelayanan di Puskesmas terdekat yang ternyata belum dapat maksimal.


Dari hal tersebut, maka dilakukan optimaslisasi akses kesehatan dengan memberikan pemahaman mengenai Kusta. Mulai dari gejala, proses penularan, kapan harus segera berobat, dan adanya obat yang harus dikonsumsi serta perawatan khusus yang harus dilakukan agar dapat sembuh total. Organisasi PerMaTa ini juga memberikan pendampingan kepada para penderita kusta, dan meningkatkan kapasitas para penyintas Kusta.


Peran serta PerMaTa tidak hanya sampai disitu saja, mereka juga konsen terhadap kebijakan Pemerintah. Serta terus memperjuangkan para penderita kusta untuk mendapatkan akses kesehatan. Salah satunya dengan melakukan advokasi ke Rumah Sakit dan pihak jaminan kesehatan, agar pasien kusta mendapatkan pelayanan yang lebih layak.


Program Prioritas Penanganan Kusta

Upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sudah terus diupayakan untuk mencegahSaat ini, ada 4 kegiatan prioritas Dinas Kesehatan dalam menangani kusta yang sudah berjalan cukup baik, meliputi:


1. Pengendalian dan pencegahan penyakit menular Kusta

Salah satunya dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat dan perilaku hidup bersih dan sehat yang akan berdampak pada pemutusan penularan penyakit kusta.


2. Pencegahan kecacatan pada penderita kusta

Meliputi pengobatan tepat waktu, pengawasan minum obat, perawatan diri dan pencegahan kecacatan. Selain itu juga pemberian obat untuk pencegahan kecacatan bagi orang yan kontak erat dengan penderita kusta, untuk memutus rantai penularan.


3. Pemberdayaan OYPMK dan disabilitas dengan peningkatan skill

Melibatkan mereka dalam workshop untuk melatih kemampuan bekerja agar tetap dapat produktive demi memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.


4. Pengurangan stigma dan diskriminasi dengan komunikasi perubahan perilaku

Melakukan pendekatan dan edukasi secara tepat mengenai penyakit kusta, demi memberikan gambaran penyakit tersebut. Agar masyarakat dapat menghindari pemicu penyakitnya, bukan lagi penderitanya.


program-penanganan-kusta

Gerakan terpadu untuk memberikan informasi mengenai penyakit kusta kepada masyarakat, terutama di daerah endemik, merupakan langkah penting dalam mendorong para penderita untuk mau memeriksakan diri dan mendapatkan pengobatan. Pemberian informasi ini juga diharapkan dapat menghilangkan stigma negatif tentang kusta dan diskriminasi terhadap penderita kusta.


Selama stigma masih tinggi akan sulit bagi kita untuk mengeliminasi penyakit kusta. Stigma itu sangat erat kaitannya dengan kethidaktahuan. Kusta bukan turunan, bukan pula kutukan, kusta dapat disembuhkan.



Oleh karena itu, adanya kegiatan diskusi ini, semoga dapat menjadi salah satu cara memutus stigma negatif kepada para disabilitas termasuk penderita kusta. Mereka juga perlu mendapatkan hak nya sebagai warna negara, termasuk terhadap akses kesehatan bagi orang kusta.

14 komentar:

  1. Nggak bisa dipungkiri, stigma negatif itu masih ada ya mba.. Tapi perlahan dengan edukasi yang baik, mungkin saja stigma itu akan pudar dan tidak ada lagi diskriminasi khususnya dalam bidang pencari pekerjaan.

    BalasHapus
  2. Orang yang menderita Kusta akan mengalami bercak putih di kulitnya yang semakin lama akan semakin melebar dan bertambah banyak jumlahnya trus ada bintil merah juga ya, karena terlihat jadi stigma negatif dari masyarakat masih cukup banyak ya padahal sebaiknya tidak seperti itu

    BalasHapus
  3. Ternyata masa inkubasi penyakit kusta lumayan lama ya Mba bisa mencapai puluhan tahun, dan hanya terpapar kepada yang benar-benar kontak erat. Beberapa tahun lalu di area sekitar rumahku di Tangsel masih banyak pengemis dengan penyakit kusta, semoga saja penyakit tersebut sudah tereliminasi saat ini.

    BalasHapus
  4. Program penanganannya semoga menyeluruh di setiap daerah. Supaya para penderita juga tetap nyaman di tengah-tengah masyarakat. Kadang yang mematikan bukan penyakitnya tapi pandangan orang-orang

    BalasHapus
  5. Bener banget ih. Aku dulu zaman sekolah punya teman kakak kelas kusta. Emang jadi orang yang paling di jauhi. Sedih banget ya.adanya program ini pasti ngebantu banget ya.

    BalasHapus
  6. Informasinya penting banget nih, ga semua paham soal penyakit kusta dan butuh lebih disosialisasikan lagi

    BalasHapus
  7. Makasih informasinya, informasi ini harus banyak disebar supaya lebih banyak lagi masyarakat teredukasi dengan stigma yang beredar selama ini.

    BalasHapus
  8. Akupun juga awam mba soal kusta. Dan baru tahu istilah (OYPMK). Semoga pemerintah juga influencer bisa menyebarkan awareness kusta kedepannya

    BalasHapus
  9. Salah satu tradisi rurin temurun yang salah kaprah ialah stigma tentang penyakit kusta.

    Bukannya malah sembuh, karena dikucilkan malah merambat pqda kejiwaan yang terguncang.

    Hadeh, masyarakat kurang edukasi nih ceritanya

    BalasHapus
  10. Stigma ini masih sangat melekat deh terutama di daerah sepertinya ya mba, yang akses ke faskesnya juga agak kurang, semoga jadi banyak yg teredukasi yaa

    BalasHapus
  11. Gak bisa dipungkiri lagi ya mba, kadang stigma orang negatif masih aja ada, semoga jadi banyak yang terdukasi biar gak ada lagi stigma negatif

    BalasHapus
  12. Sedih deh karena stigma negatif masih sangat melekat di masyarakat ttg orang yg menderita penyakit kusta. Semoga dgn adanya program ini jd nggak ada lg diskriminasi kpd penderita kusta.

    BalasHapus
  13. Aku sendiri belum paham bagaimana penyakit kusta ini. Baru tau kalo penularannya melalui droplet juga ya. Semakin yakin kalo prokes yang dijalanin saat ini memang layak untuk dijalankan untuk jangka panjang deh. Semoga edukasi mengenai penyakit ini bisa dijalankan secara konsisten supaya bisa lebih banyak lagi yang tahu.

    BalasHapus
  14. Ahh yaampun serem banget.. dimasa kaya gini benerbener harus ekstra hatihati buat diri sendiri dan orang tersayang buat jaga terus kesehatannya. Apalagi penyakit menular gini semoga kita semua selalu dalam lindungan allah

    BalasHapus

Terima kasih sudah membacanya sampai selesai, semoga bermanfaat :) Please jangan tinggalkan link hidup dalam kolom komentar!

comment

Diberdayakan oleh Blogger.